Geografi - Perubahan Iklim
PENGERTIAN IKLIM DAN PERUBAHAN IKLIM
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang tidak sama.
Beberapa definisi cuaca adalah :
Keadaan atmosfer secara keseluruhan pada suatu saat termasuk perubahan, perkembangan dan menghilangnya suatu fenomena (World Climate Conference, 1979).
Keadaan variable atmosfer secara keseluruhan disuatu tempat dalam selang waktu yang pendek (Glen T. Trewartha, 1980).
Keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun) (Gibbs, 1987).
Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang cuaca disebut meteorologi.
Sedangkan iklim didefinisikan sebagai berikut :
Sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979).
Konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsur-unsur atmosfer disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Glenn T. Trewartha, 1980).
Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).
Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang iklim disebut klimatologi.
Adapun definisi perubahan iklim adalah:
Kementerian Lingkungan Hidup, 2001
mendefinisikan: berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi
curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan
manusia Perubahan fisik ini tidak
terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang.
LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim
adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah
tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim
dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan.
IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim
merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada
variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang
(biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim
mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau ulah
manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan.
Menurut United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCC) Perubahan Iklim adalah perubahan yang disebabkan oleh aktivitas
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah komposisi
atmosfer secara global dan mengakibatkan perubahan variasi iklim yang dapat
diamati dan dibandingkan selama kurun waktu tertentu.
Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim global (Budianto, 2000).
Meskipun pemanasan global hanya merupakan 1 bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memperikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
Studi perubahan iklim melibatkan analisis iklim masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di masa yang akan datang (beberapa dekade atau abad ke depan). Hal ini tidak terlepas juga dari interaksi dinamis antara sejumlah komponen sistem iklim seperti atmosfer, hidrofer (terutama lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan biosfer, dan pedosfer. Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi.
PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu iklim musim (muson), iklim tropica (iklim panas), dan iklim laut.
1. Iklim Musim (Iklim Muson)
Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau.
2. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)
Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis, sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.
3. Iklim Laut
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan yang tinggi.
Edvin Aldrian (2003), membagi Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) daerah iklim, yaitu daerah Selatan A, daerah Utara – Barat B dan daerah Moluccan C, sebagai mana dituangkan pada gambar 1.
Gambar 1 : Tiga daerah iklim menggunakan metoda korelasi ganda, yang membagi Indonesia menjadi daerah A (garis tegas), daerah monsun selatan; daerah B (titik garis putus-putus), daerah semi-monsun; dan daerah C (garis putus-putus), daerah anti monsun.
Wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang dilintasi oleh garis Khatulistiwa, sehingga dalam setahun matahari melintasi ekuator sebanyak dua kali. Matahari tepat berada di ekuator setiap tanggal 23 Maret dan 22 September. Sekitar April-September, matahari berada di utara ekuator dan pada Oktober-Maret matahari berada di selatan. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada saat matahari berada di utara ekuator, sebagian wilayah Indonesia mengalami musim kemarau, sedangkan saat matahari ada di selatan, sebagaian besar wilayah Indonesia mengalami musim penghujan.
Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Diantaranya ada yang mempunyai pola munsonal, ekuatorial dan lokal. Pola hujan tersebut dapat diuraikan berdasarkan pola masing-masing. Distribusi hujan bulanan dengan pola monsun adalah adanya satu kali hujan minimum. Hujan minimum terjadi saat monsun timur sedangkan saat monsun barat terjadi hujan yang berlimpah. Monsun timur terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus yaitu saat matahari berada di garis balik utara. Oleh karena matahari berada di garis balik utara maka udara di atas benua Asia mengalami pemanasan yang intensif sehingga Asia mengalami tekanan rendah. Berkebalikan dengan kondisi tersebut di belahan selatan tidak mengalami pemanasan intensif sehingga udara di atas benua Australia mengalami tekanan tinggi. Akibat perbedaan tekanan di kedua benua tersebut maka angin bertiup dari tekanan tinggi (Australia) ke tekanan rendah (Asia) yaitu udara bergerak di atas laut yang jaraknya pendek sehingga uap air yang dibawanyapun sedikit.
Dapat diamati bahwa hujan maksimum terjadi antara bulan Desember, Januari dan Februari. Pada kondisi ini matahari berada di garis balik selatan sehingga udara di atas Australia mengalami tekanan rendah sedangkan di Asia mengalami tekanan tinggi. Akibat dari hal ini udara bergerak di atas laut dengan jarak yang cukup jauh sehingga arus udara mampu membawa uap air yang banyak (monsun barat atau barat laut). Akibat dari hal ini wilayah yang dilalui oleh munson barat akan mengalami hujan yang tinggi. Atas dasar sebab terjadinya angin munson barat ataupun timur yang mempengaruhi terbentuknya pola hujan munsonal di beberapa wilayah Indonesia dapat dikatakan wilayah yang terkena relatif tetap selama posisi pergeseran semu matahari juga tetap. Namun, perubahan diperkirakan akan terjadi terhadap jumlah, intensitas dan durasi hujannya. Untuk mempelajari hal ini diperlukan data curah hujan dalam seri yang panjang. Kaimuddin (2000) dengan analisa spasial bahwa curah hujan rata-rata tahunan kebanyakan di daerah selatan adalah berkurang atau menurun sedangkan dibagian Utara adalah bertambah.
Iklim di Indonesia telah menjadi lebih hangat selama abad 20. Suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekiitar 0,3 oC sejak 1900 dengan suhu tahun 1990an merupakan dekade terhangat dalam abad ini dan tahun 1998 merupakan tahun terhangat, hampir 1oC di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan kehangatan ini terjadi dalam semua musim di tahun itu. Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 hingga 3 persen di wilayah Indonesia di abad ini dengan pengurangan tertinggi terjadi selama perioda Desember- Febuari, yang merupakan musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1082/1983, 1986/1987 dan 1997/1998.
Gambar 2. Perubahan suhu rata-rata tahunan 1901-1998 (atas) dan curah hujan tahunan 1901-1998 (bawah) untuk Indinesia. Perubahan-perubahan terhadap nilai iklim rata-rata 1961-1990 untuk suhu dan curah hujan masing-masing adalah 25,5oC dan 2548mm
Beberapa kajian untuk wilayah Indonesia telah dilakukan berdasarkan observasi, model global dan skenario dengan adanya perubahan curah hujan dan suhu di berbagai lokasi, diantaranya untuk Kota Jakarta.
Dari rata-rata bulanan terdapat tren kenaikan di lokasi Jakarta dari tahun 1900 hingga tahun 2000 antara observasi dan model (gambar 3). Dengan pengertian cenderung mengalami kenaikan 8% (CGCM) dan 2% (CSIRO). Periode 1900-2000 nampak jelas terjadi kenaikan temperatur, hal ini ditunjukkan dengan tren perubahan bertanda positif.
Hasil yang berbeda pada perubahan musim atas Indonesia yang diungkapkan oleh dua model yang berbeda, Hadcm3 (Hadley Pusat Iklim, UK) dan GISS-ER (Goddard Institut untuk Space/ Studies, NASA- AS) (Wenhong Li, 2006 dalam Canadell et al., 2006) gambar 4. Dari hasil Syahbuddin dkk (2007) dengan menggunakan model ARPEGE (Action de Recherche Petite Echelle Grande Echelle) Climat versi 3.0. berdasarkan simulasi zonasi curah hujan untuk periode 1950-1979 dan periode 2010-2039. diperkirakan akan terjadi peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia pada tahun 2010-2039 yang ditandai dengan anomali positif zona konveksi dan peningkatan temperatur seperti yang tercantum pada gambar 5 dibawah ini.
Gambar 3 : Tren kenaikan suhu udara rata-rata Jakarta tahun 1900-2000 (Observasi dan model).
Gambar 4: Perubahan pola musim di Indonesia.
Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim global (Budianto, 2000).
Meskipun pemanasan global hanya merupakan 1 bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan memperikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
Studi perubahan iklim melibatkan analisis iklim masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di masa yang akan datang (beberapa dekade atau abad ke depan). Hal ini tidak terlepas juga dari interaksi dinamis antara sejumlah komponen sistem iklim seperti atmosfer, hidrofer (terutama lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan biosfer, dan pedosfer. Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi.
PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu iklim musim (muson), iklim tropica (iklim panas), dan iklim laut.
1. Iklim Musim (Iklim Muson)
Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau.
2. Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)
Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis, sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.
3. Iklim Laut
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan yang tinggi.
Edvin Aldrian (2003), membagi Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) daerah iklim, yaitu daerah Selatan A, daerah Utara – Barat B dan daerah Moluccan C, sebagai mana dituangkan pada gambar 1.
Gambar 1 : Tiga daerah iklim menggunakan metoda korelasi ganda, yang membagi Indonesia menjadi daerah A (garis tegas), daerah monsun selatan; daerah B (titik garis putus-putus), daerah semi-monsun; dan daerah C (garis putus-putus), daerah anti monsun.
Wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang dilintasi oleh garis Khatulistiwa, sehingga dalam setahun matahari melintasi ekuator sebanyak dua kali. Matahari tepat berada di ekuator setiap tanggal 23 Maret dan 22 September. Sekitar April-September, matahari berada di utara ekuator dan pada Oktober-Maret matahari berada di selatan. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada saat matahari berada di utara ekuator, sebagian wilayah Indonesia mengalami musim kemarau, sedangkan saat matahari ada di selatan, sebagaian besar wilayah Indonesia mengalami musim penghujan.
Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Diantaranya ada yang mempunyai pola munsonal, ekuatorial dan lokal. Pola hujan tersebut dapat diuraikan berdasarkan pola masing-masing. Distribusi hujan bulanan dengan pola monsun adalah adanya satu kali hujan minimum. Hujan minimum terjadi saat monsun timur sedangkan saat monsun barat terjadi hujan yang berlimpah. Monsun timur terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus yaitu saat matahari berada di garis balik utara. Oleh karena matahari berada di garis balik utara maka udara di atas benua Asia mengalami pemanasan yang intensif sehingga Asia mengalami tekanan rendah. Berkebalikan dengan kondisi tersebut di belahan selatan tidak mengalami pemanasan intensif sehingga udara di atas benua Australia mengalami tekanan tinggi. Akibat perbedaan tekanan di kedua benua tersebut maka angin bertiup dari tekanan tinggi (Australia) ke tekanan rendah (Asia) yaitu udara bergerak di atas laut yang jaraknya pendek sehingga uap air yang dibawanyapun sedikit.
Dapat diamati bahwa hujan maksimum terjadi antara bulan Desember, Januari dan Februari. Pada kondisi ini matahari berada di garis balik selatan sehingga udara di atas Australia mengalami tekanan rendah sedangkan di Asia mengalami tekanan tinggi. Akibat dari hal ini udara bergerak di atas laut dengan jarak yang cukup jauh sehingga arus udara mampu membawa uap air yang banyak (monsun barat atau barat laut). Akibat dari hal ini wilayah yang dilalui oleh munson barat akan mengalami hujan yang tinggi. Atas dasar sebab terjadinya angin munson barat ataupun timur yang mempengaruhi terbentuknya pola hujan munsonal di beberapa wilayah Indonesia dapat dikatakan wilayah yang terkena relatif tetap selama posisi pergeseran semu matahari juga tetap. Namun, perubahan diperkirakan akan terjadi terhadap jumlah, intensitas dan durasi hujannya. Untuk mempelajari hal ini diperlukan data curah hujan dalam seri yang panjang. Kaimuddin (2000) dengan analisa spasial bahwa curah hujan rata-rata tahunan kebanyakan di daerah selatan adalah berkurang atau menurun sedangkan dibagian Utara adalah bertambah.
Iklim di Indonesia telah menjadi lebih hangat selama abad 20. Suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekiitar 0,3 oC sejak 1900 dengan suhu tahun 1990an merupakan dekade terhangat dalam abad ini dan tahun 1998 merupakan tahun terhangat, hampir 1oC di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan kehangatan ini terjadi dalam semua musim di tahun itu. Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 hingga 3 persen di wilayah Indonesia di abad ini dengan pengurangan tertinggi terjadi selama perioda Desember- Febuari, yang merupakan musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1082/1983, 1986/1987 dan 1997/1998.
Gambar 2. Perubahan suhu rata-rata tahunan 1901-1998 (atas) dan curah hujan tahunan 1901-1998 (bawah) untuk Indinesia. Perubahan-perubahan terhadap nilai iklim rata-rata 1961-1990 untuk suhu dan curah hujan masing-masing adalah 25,5oC dan 2548mm
Beberapa kajian untuk wilayah Indonesia telah dilakukan berdasarkan observasi, model global dan skenario dengan adanya perubahan curah hujan dan suhu di berbagai lokasi, diantaranya untuk Kota Jakarta.
Dari rata-rata bulanan terdapat tren kenaikan di lokasi Jakarta dari tahun 1900 hingga tahun 2000 antara observasi dan model (gambar 3). Dengan pengertian cenderung mengalami kenaikan 8% (CGCM) dan 2% (CSIRO). Periode 1900-2000 nampak jelas terjadi kenaikan temperatur, hal ini ditunjukkan dengan tren perubahan bertanda positif.
Hasil yang berbeda pada perubahan musim atas Indonesia yang diungkapkan oleh dua model yang berbeda, Hadcm3 (Hadley Pusat Iklim, UK) dan GISS-ER (Goddard Institut untuk Space/ Studies, NASA- AS) (Wenhong Li, 2006 dalam Canadell et al., 2006) gambar 4. Dari hasil Syahbuddin dkk (2007) dengan menggunakan model ARPEGE (Action de Recherche Petite Echelle Grande Echelle) Climat versi 3.0. berdasarkan simulasi zonasi curah hujan untuk periode 1950-1979 dan periode 2010-2039. diperkirakan akan terjadi peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia pada tahun 2010-2039 yang ditandai dengan anomali positif zona konveksi dan peningkatan temperatur seperti yang tercantum pada gambar 5 dibawah ini.
Gambar 3 : Tren kenaikan suhu udara rata-rata Jakarta tahun 1900-2000 (Observasi dan model).
Gambar 4: Perubahan pola musim di Indonesia.
PERUBAHAN IKLIM GLOBAL
13 January 2012 - dalam Umum Oleh
herypurba-fst
PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dewasa ini meningkatnya
konsentrasi gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, CFC, HFC, N2O), terutama peningkatan
konsentrasi CO2, di atmosfir menyebabkan terjadinya global warming (peningkatan
suhu udara secara global) yang memicu terjadinya global climate change
(perubahan iklim secara global). Fenomena ini memberikan berbagai dampak yang
berpengaruh penting terhadap keberlanjutan hidup manusia dan makhluk hidup
lainnya di planet bumi ini, di antaranya adalah pergeseran musim dan perubahan
pola/distribusi hujan yang memicu terjadinya banjir dan tanah longsor pada
musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau, naiknya muka air laut yang
berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil dan banjir rob, dan bencana
badai/gelombang yang sering meluluhlantakan sarana-prasarana penopang kehidupan
di kawasan pesisir. Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan
global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama
yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh
meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh
industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek
pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas
(inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi.
Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan
rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim. Perubahan
temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur hingga
0.74oC antara tahun 1906 hingga tahun 2005. Temperatur rata-rata global ini
diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1.8-4.0oC di abad sekarang ini, dan
bahkan menurut kajian lain dalam IPCC diproyeksikan berkisar antara 1.1-6.4oC.
A. Pengertian Perubahan Iklim Global Iklim merupakan sintesis kejadian cuaca
selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai
untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap
saatnya (World Climate Conference, 1979). Sedangkan menurut Paulus Winarso
(2007) iklim adalah rata-rata kondisi fisis udara(cuaca) pada kurun waktu
tertentu (harian, mingguan, bulanan, musiman dan tahunan yang diperlihatkan
dari ukuran catatan unsur-unsurnya (suhu, tekanan, kelembaban, hujan, angin,
dan sebagainya). Menurut Hidayati (2007) studi tentang iklim mencakup kajian
tentang fenomena fisik atmosfer sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan
kimiafisik yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan bumi. Keduanya
saling mempengaruhi, aktivitas atmosfer dikendalikan oleh fisiografi bumi, dan
fluktuasi iklim berpengaruh terhadap aktivitas di muka bumi. Iklim selalu
berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan
membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun
siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas
manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala
global maupun skala lokal. Menurut Kolaborasi Bali Climate Change (2007) Perubahan
Iklim Global adalah perubahan pola perilaku iklim dalam kurun waktu tertentu
yang relatif panjang (sekitar 30 tahunan). Sedangkan menurut Agus Winarso
(2007) Perubahan Iklim Global adalah perubahan unsur-unsur iklim (suhu,
tekanan, kelembaban, hujan, angin,dan sebagainya) secara global terhadap
normalnya.. Ini bisa terjadi karena efek alami. Namun, saat ini yang terjadi
adalah perubahan iklim akibat kegiatan manusia. Perubahan iklim terjadi akibat
peningkatan suhu udara yang berpengaruh terhadap kondisi parameter iklim
lainnya. Perubahan iklim mencakup perubahan dalam tekanan udara, arah dan
kecepatan angin, dan curah hujan. B. Perubahan Iklim Global Indonesia Belum ada
data komprehensif mengenai dampak perubahan iklim di Indonesia. Namun beberapa data
menunjukkan bahwa: 1. Suhu rata-rata tahunan menunjukkan peningkatan 0,3
derajat Celcius sejak tahun 1990. 2. Musim hujan datang lebih lambat, lebih
singkat, namun curah hujan lebih intensif sehingga meningkatkan risiko banjir.
Pada 2080 diperkirakan sebagian Sumatera dan Kalimantan menjadi 10-30% lebih
basah pada musim hujan; sedangkan Jawa dan Bali 15% lebih kering. 3. Variasi
musiman dan cuaca ekstrim diduga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan lahan,
terutama di Selatan Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (CIFOR 2004). 4.
Perubahan pada kadar penguapan air, dan kelembaban tanah akan berdampak pada
sektor pertanian dan ketahanan pangan. Perubahan iklim akan menurunkan
kesuburan tanah sekitar 2% sampai dengan 8%, diperkirakan akan mengurangi panen
padi sekitar 4% per tahun, kacang kedelai sekitar 10%, dan jagung sekitar 50%.
5. Kenaikan permukaan air laut akan mengancam daerah dan masyarakat pesisir.
Sebagai contoh air Teluk Jakarta naik 57 mm tiap tahun. Pada 2050, diperkirakan
160 km2 dari Kota Jakarta akan terendam air, termasuk Kelapa Gading, Bandara
Sukarno-Hatta dan Ancol (Susandi, Jakarta Post, 7 Maret 2007). Di Bali
kerusakan lingkungan pada 140 titik abrasi dari panjang pantai sekitar 430 km.
Laju kerusakan pantai di Bali diperkirakan 3,7 km per tahun dengan erosi ke
daratan 50-100 meter per tahun (Bali Membangun, 2004). Kerusakan ini ditambah
potensi dampak dari perubahan iklim diduga akan menyebabkan muka air laut naik
6 meter pada 2030, sehingga Kuta dan Sanur akan tergenang (Bali Post, 16 Agustus
2007). Hal ini mengancam keberlangsungan pendapatan dari pariwisata yang
mengandalkan kekayaan dan keindahan pantai dan laut di Bali. Daerah yang lebih
‘aman’ adalah pantai berkarang yang bersifat terjal, seperti Uluwatu dan Nusa
Penida serta daerah perbukitan dan pegunungan yang saat ini mempunyai
ketinggian di atas 50 meter. 6. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,
Indonesia menghadapi risiko kehilangan banyak pulau-pulau kecilnya dan
penciutan kawasan pesisir akibat kenaikan permukaan air laut. Wilayah Indonesia
akan berkurang dan akan ada pengungsi dalam negeri. 7. Dampak kenaikan muka air
laut akan mengurangi lahan pertanian dan perikanan yang pada akhirnya akan
menurunkan potensi pendapatan rata-rata masyarakat petani dan nelayan. Kerusakan
pesisir dan bencana yang terkait dengan hal itu akan mengurangi pendapatan
negara dan masyarakat dari sektor pariwisata. Sementara itu, negara harus
menaikkan anggaran untuk menanggulangi bencana yang meningkat, mengelola dampak
kesehatan, dan menyediakan sarana bagi pengungsi yang meningkat akibat bencana.
Industri di kawasan pesisir juga kemungkinan besar akan menghadapi dampak
ekonomi akibat permukaan air laut naik. Kesemuanya ini akan meningkatkan beban
anggaran pembangunan nasional dan daerah. Dampak-dampak ini memang sering
dikatakan sebagai ”diperkirakan”, tetapi perubahan pola cuaca, intensitas hujan
dan musim kering, serta peningkatan bencana sudah mulai kita rasakan sekarang,
tidak perlu menunggu 2030 atau 2050. Kalau peningkatan suhu rata-rata bumi
tidak dibatasi pada 2oC maka dampaknya akan sulit dikelola manusia maupun alam
C. Penyebab Perubahan Iklim Global Penyebab perubahan iklim global seharusnya
dibiarkan terjadi secara alami. Namun, campur tangan manusia terhadap alam
semesta telah mempercepat perubahan tersebut secara signifikan. Pemanasan
Global Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah wadah diskusi
Internasional yang khusus menyoroti tentang perubahan iklim dunia, pada 2007
lalu telah menyatakan secara eksplisit apa yang terjadi muka bumi ini. Di
antaranya isu pemanasan global yang telah dan sedang terjadi saat ini,
temperatur bumi yang makin meningkat sebagai dampak dari tangan-tangan manusia,
dilihat dari gejala yang sedang terjadi sekarang seperti suhu yang ekstrem, gelombang
panas bumi, dan hujan lebat yang turun tidak sesuai dengan siklusnya dalam
frekuensi yang terus meningkat. Dapat dipastikan, hal-hal tersebut akan terus
meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Pada 2009 akhir, kondisi kaki Gunung
Mount Everest terlihat cukup memprihatinkan. Es dan salju yang membentuk
gletser pada puncak Mount Everest telah mencair hingga membentuk danau es.
Kejadian ini mencemaskan para penduduk Nepal yang ada di sekitar kaki gunung.
Untuk membicarakan hal tersebut kepala pemerintah Nepal bersama para perdana
menterinya berdiskusi dengan cara berkumpul di kaki Gunung Everest. Tindakan
ini merupakan inisiatif pemerintah terhadap perubahan iklim yang ternyata bukan
hanya mempengaruhi kondisi geografis Nepal, namun juga kondisi bumi secara
keseluruhan. Hasil pembahasan ini dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB
di Dalam konferensi itu disepakati beberapa hal untuk menghentikan perubahan
iklim global. Di antaranya pengakuan mendesak bahwa suhu bumi tidak boleh naik
2 derajat Celcius, bantuan finansial untuk negara berkembang dalam bentuk dana
iklim senilai 100 miliar dolar mulai tahun 2020, dan pengawasan terhadap janji
mengurangi emisi CO2 namun prosentase kadar emisinya tidak ditentukan sampai
batas tertentu. Untuk bisa melakukan semua ide tersebut dibutuhkan kerja keras
seluruh pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat tanpa terkecuali sebagai
penduduk bumi. Memulai sesuatu memang tidak mudah, tapi dengan tekad yang kuat
dan konsep yang tepat dan terarah, panas bumi dapat diturunkan hingga batas
normal. Efek Rumah Kaca Perlu diketahui bahwa faktor utama penyebab terjadinya
perubahan iklim global adalah adanya efek rumah kaca yang banyak digunakan
untuk kegiatan industri yang dimulai sejak Revolusi Industri sejak abad 19.
Lahan hijau banyak yang diratakan dengan tanah untuk dijadikan kawasan industri
dengan dibangunnya bangunan-bangunan untuk kegiatan produksi dan pemukiman
penduduk. Hal ini membuat penduduk dunia di berbagai belahan bumi
berbondong-bondong melakukan migrasi dari desa ke kota untuk ambil bagian dalam
kegiatan industri tersebut. Radiasi sinar matahari leluasa dipancarkan ke bumi
dan terperangkap dalam rumah-rumah kaca. Hal ini menyebabkan peningkatan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi. Atmosfer pun mengalami
peningkatan suhu. Penggunaan aerosol dan emisi gas nuangan yang tidak sesuai
semakin menambah jumlah emisi yang terperangkap dalam rumah kaca. D. Dampak
Perubahan Iklim Global Menurut laporan IPCC tahun 2001, bahwa suhu udara global
sejak 1861 telah meningkat 0.6oC, dan pemanasan tersebut terutama disebabkan
oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC
memprediksi pada tahun 2100 akan terjadi peningkatan suhu rata-rata global akan
meningkat 1.4 – 5.8 oC (2.5 – 10.4 oF). Dilaporkan pula bahwa suhu bumi akan
terus meningkat walaupun konsentrasi GRK di atmosfer tidak bertambah lagi di
tahun 2100, karena GRK yang telah dilepaskan sebelumnya sudah cukup besar dan
masa tinggal nya (life time) cukup lama bisa sampa seratus tahun. Bila emisi
GRK masih terus meningkat, para ahli memprediksi konsentrasi CO2 akan meningkat
hingga 3x lipat pada awal abad ke 22 bila dibandingkan dengan kondisi
pra-industri. Dampak dari pemanasan global terhadap lingkungan dan kehidupan,
dapat dibedakan menurut tingkat kenaikan suhu dan rentang waktu (Gambar 1).
Bila suhu bumi meningkat hingga 3oC diramalkan sebagian belahan bumi akan
tenggelam, karena meningkatnya muka air laut akibat melelehnya es di daerah
kutub, misalnya Bangladesh akan tenggelam. Bencana tzunami akan terjadi lagi di
beberapa tempat, kekeringan dan berkurangnya beberapa mata air, kelaparan
dimana-mana. Akibatnya banyak penduduk dari daerah-daerah yang terkena bencana
akan mengungsi ke tempat lain. Peningkatan jumlah pengungsi di suatu tempat
akan berdampak terhadap stabilitas sosial dan ekonomi, kejadian tersebut sudah
sering kita dengar terjadi di Indonesia paska bencana. Perubahan yang lain
adalah meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang ekstrim, serta perubahan
jumlah dan pola presipitasi. Perubahan-perubahan tersebut akan berpengaruh
terhadap hasil pertanian, berkurangnya salju di puncak gunung, hilangnya
gletser dan punahnya berbagai jenis flora dan fauna. Akibat perubahan global
tersebut akan mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam perencanaan dan
pengembangan wilayah, pengembangan pendidikan dan sebagainya. Guna menghindari
terjadinya bencana besar yang memakan banyak korban, para ilmuan telah membuat
beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global. 1. Tinggi muka laut Peningkatan
suhu atmosfer akan diikuti oleh peningkatan suhu di permukaan air laut,
sehingga volume air laut meningkat maka tinggi permukaan air laut juga akan
meningkat. Pemanasan atmosfer akan mencairkan es di daerah kutub terutama di
sekitar pulau Greenland (di sebelah utara Kanada), sehingga akan meningkatkan
volume air laut. Kejadian tersebut menyebabkan tinggi muka air laut di seluruh
dunia meningkat antara 10 - 25 cm selama abad ke-20. Para ilmuan IPCC
memprediksi peningkatan lebih lanjut akan terjadi pada abad ke-21 sekitar 9 -
88 cm (Gambar 2). Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan
di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 % daerah
Belanda, 17.5% daerah Bangladesh dan banyak pulau-pulau. Dengan meningkatnya
permukaan air laut, peluang terjadi erosi tebing, pantai, dan bukit pasir juga
akan meningkat. Bila tinggi lautan mencapai muara sungai, maka banjir akibat
air pasang akan meningkat di daratan. Bahkan dengan sedikit peningkatan tinggi
muka laut sudah cukup mempengaruhi ekosistem pantai, dan menenggelamkan
sebagian dari rawa-rawa pantai. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang
sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negaranegara miskin
mungkin hanya dapat melakukan evakuasi penduduk dari daerah pantai. 2.
Mencairnya es di kutub utara Para ilmuan juga memperkirakan bahwa selama
pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern
Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya,
gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil, akan lebih sedikit es
yang terapung di perairan Utara sehingga populasi flora dan fauna semakin
terbatas. Pada daerahdaerah pegunungan subtropis, bagian yang ditutupi salju
akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair dan musim tanam akan lebih
panjang di beberapa area. 3. Jumlah curah hujan Meningkatnya suhu di atmosfer
akan berpengaruh terhadap kelembaban udara. Pada daerah-daerah beriklim hangat
akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan,
sehingga akan meningkatkan curah hujan, rata-rata, sekitar 1 % untuk setiap 1oC
F pemanasan. Dalam seratus tahun terakhir ini curah hujan di seluruh dunia
telah meningkat sebesar 1 %. Intensitas curah hujan telah meningkat akhir-akhir
ini bila dibandingkan dengan waktu 1950 -1999. Para ahli telah memperkirakan
perubahan curah hujan yang akan terjadi di Asia Tenggara (Lal et al., 2001
dalam Santoso dan Forner, 2006) bahwa presipitasi di Asia Tenggara akan
meningkat 3.6% di tahun 2020-an dan 7.1% di tahun 2050, serta 11.3% di tahun
2080-an. Dengan menggunakan model simulasi (IS92a pakai dan tanpa aerosol)
diperkirakan iklim di Asia Tenggara akan menjadi lebih panas dan lebih basah
dari pada kondisi yang kita miliki saat ini (Gambar 3). Dengan berpeluang besar
untuk terjadi banjir dan longsor di musim penghujan dan kekeringan di musim
kemarau. E. Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Indonesia Perubahan iklim
global akan memberikan dampak yang sangat parah bagi Indonesia karena posisi
geografis yang terletak di ekuator, antara dua benua dan dua samudera, negara
kepulauan dengan 81.000 km garis pantai dengan dua pertiga lautan, populasi
penduduk nomor empat terbesar di dunia dengan tingkat kesadaran lingkungan yang
rendah, degenerasi kearifan budaya lokal, pendidikan yang tidak memadai,
keterampilan rendah, keterbelakangan iptek, kepedulian sosial minim, dibelit
kemiskinan dan kesulitan ekonomi, kelemahan pemerintahan, korupsi, kurangnya
kepemimpinan, serta kelakuan yang buruk dari pengusaha dan institusi
internasional. Posisi geografis Indonesia menyebabkan bahwa pada setiap saat di
dalam wilayah negara ini ada musim-musim yang saling berlawanan dan bersifat
ekstrim, di satu wilayah terjadi kekeringan dan kekurangan air, di wilayah lain
terjadi banjir. Pengamatan temperatur global sejak abad 19 menunjukkan adanya
perubahan rata-rata temperatur yang menjadi indikator adanya perubahan iklim.
Perubahan temperatur global ini ditunjukkan dengan naiknya rata-rata temperatur
hingga 0.74oC antara tahun 1906 hingga tahun 2005. Temperatur rata-rata global
ini diproyeksikan akan terus meningkat sekitar 1.8-4.0oC di abad sekarang ini,
dan bahkan menurut kajian lain dalam IPCC diproyeksikan berkisar antara
1.1-6.4oC. Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer
kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter
cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter
cuaca tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak-dampak yang
ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut diantaranya adalah : 1. Semakin banyak penyakit (Tifus, Malaria, Demam,
dll.) 2. Meningkatnya frekuensi bencana
alam/cuaca ekstrim (tanah longsor, banjir, kekeringan, badai tropis, dll.) 3. Mengancam ketersediaan air 4. Mengakibatkan pergeseran musim dan
perubahan pola hujan 5. Menurunkan
produktivitas pertanian 6. Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran
hutan 7. Mengancam
biodiversitas dan keanekaragaman hayati 8. Kenaikan
muka laut menyebabkan banjir permanen dan kerusakan infrastruktur di daerah
pantai Terdapat dua dampak yang menjadi isu utama berkenaan dengan perubahan
iklim, yaitu fluktuasi curah hujan yang tinggi dan kenaikan muka laut yang
menyebabkan tergenangnya air di wilayah daratan dekat pantai. Dampak lain yang
diakibatkan oleh naiknya muka laut adalah erosi pantai, berkurangnya salinitas
air laut, menurunnya kualitas air permukaan, dan meningkatnya resiko banjir.
Musibah angin kencang dan gelombang pasang bisa terjadi setiap waktu dan sulit
diprediksi jauh-jauh. Produksi pertanian, khususnya tanaman pangan, menjadi
semakin sulit dan menimbulkan kerawanan pangan. Hubungan transportasi dan
komunikasi antar pulau akan semakin sulit dan berbahaya. Semuanya akan bermuara
pada disintegrasi negara kesatuan RI. Panjang garis pantai akan berkurang
dengan naiknya permukaan laut, ratusan ribu kilometer persegi daratan di
pesisir pantai akan hilang ditelan laut dan bersamanya akan ikut tenggelam pula
kota -kota dan desa pesisir yang menjadi permukiman dari lebih seratus juta
orang yang sebagian besar miskin serta asset dan infrastruktur bernilai
trilyunan Euro. Pesatnya peningkatan permukaan laut ini tidak akan mampu
diimbangi dengan kecepatan untuk memindahkan penduduk dan menggantikan
infrastruktur yang hilang. Belum lagi tiadanya modal untuk melaksanakannya.
Bencana besar itu akan datang dalam hitungan beberapa dekade saja apabila upaya
antisipasi tidak dilakukan, baik secara regional maupun global. Kepedulian
terhadap lingkungan sangat minim. Kearifan budaya lokal untuk menjaga
keseimbangan lingkungan dikalahkan oleh kebutuhan ekonomi, keserakahan, serta
inefisiensi dalam pemanfaatan sumberdaya. Erosi hutan alam terjadi dengan
kecepatan tinggi menyebabkan banjir, tanah longsor dan kekeringan. Erosi hutan bakau
menyebabkan abrasi pantai. Penduduk yang di pantai tenggelam, yang di gunung
tertimbun, yang di tengah kehausan. Kebakaran dan pembakaran hutan menimbulkan
asap yang menyesakkan bagi penduduk sendiri maupun penduduk negara tetangga.
Belum lagi dampak ke penduduk dunia lain karena menurunnya kemampuan hutan
untuk menghasilkan oksigen dan menyerap gas-gas polutan lainnya yang
berpengaruh besar pada perubahan iklim dunia. Indonesia adalah pemilik wilayah
hutan tropis terluas kedua di dunia. Kemampuan pemerintah untuk menata ruang
dan membuat peraturan kurang mempertimbangkan lingkungan. Itupun masih ditambah
lagi dengan kelemahan penegakan hukum dan disiplin kepemimpinan. Korupsi dan
ketidakpedulian membuat upaya menjaga dan memperbaiki ekosistem makin parah.
Hal yang paling merisaukan adalah perbuatan dari pengusaha dan institusi
internasional yang mempunyai kepentingan politik, ekonomi dan lainnya. Mereka
memberikan iming-iming dan arahan yang menyesatkan ditengah keluguan,
kerakusan, serta kebodohan pejabat pemerintah pusat, daerah dan pengusaha
lokal. Mereka inilah yang menjadi penadah dari penggalian sumberdaya alam yang
tidak bertanggungjawab ini. Barulah setelah dampak perubahan iklim global mulai
mengancam kehidupan mereka juga maka Indonesia ditekan untuk memperhatikan
lingkungan. Sayangnya, mereka sendiri enggan mengurangi polusi yang dihasilkan
oleh industri di negara masing-masing. Padahal, mereka justru pencemar
lingkungan yang paling besar yang selama ini menjadi sumber utama perubahan
iklim global. Kegagalan Indonesia untuk menyelamatkan diri dari perubahan iklim
dapat dipastikan akan menyeret juga negara-negara lain di dunia ke dalam
permasalahan yang sama, hanya waktunya saja yang berbeda. Kiamat akan datang
dari Indonesia dan menyebar ke seluruh dunia. Grup pemerhati pemanasan global
telah merangkum dan menyusun informasi di internet tentang akibat dari
pemanasan global di Indonesia baik ditinjau dari aspek lingkungan, sosial,
ekonomi, kesehatan dan budaya. 1. Ketahanan Pangan Terancam Produksi Pertanian
Tanaman pangan dan perikanan akan berkurang akibat banjir, kekeringan,
pemanasan dan tekanan air, serangan hama dan penyakit, kenaikan air laut, serta
angin yang kuat. Perubahan iklim juga akan mempengaruhi waktu tanam dan waktu
panen, di beberapa tempat masa tanam lebih panjang tetapi di lain tempat justru
menjadi lebih singkat. Peningkatan suhu 1oC diperkirakan akan menurunkan panen
padi di negara tropis sebanyak 10%. Dengan demikian bahaya kelaparan akan
mengancam penduduk di mana-mana. 2. Risiko Kesehatan Cuaca yang ekstrim akan
mempercepat penyebaran penyakit baru dan bisa memunculkan penyakit lama yang
sudah jarang ditemukan saat ini. Badan Kesehatan PBB memperkirakan bahwa
peningkatan suhu dan curah hujan akibat perubahan iklim sudah menyebabkan
kematian 150.000 jiwa setiap tahun. Penyakit seperti malaria, diare, dan demam
berdarah (dengee) diperkirakan akan meningkat di negara tropis seperti
Indonesia. 3. Air Ketersediaan air berkurang 10%-30% di beberapa kawasan
terutama di daerah tropika kering. Kelangkaaan air akan menimpa jutaan orang di
Asia Pasifik akibat musim kemarau berkepanjangan dan intrusi air laut ke
daratan. Masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai akan sangat menderita. 4.
Ekonomi Kehilangan lahan produktif akibat kenaikan permukaan laut dan
kekeringan, bencana, dan risiko kesehatan mempunyai dampak pada ekonomi. Sir
Nicolas Stern, penasehat perdana menteri Inggris mengatakan bahwa dalam 10 atau
20 tahun mendatang perubahan iklim akan berdampak besar terhadap ekonomi. Stern
mengatakan bahwa dunia harus berupaya mengurangi emisi dan membantu
negara-negara miskin untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim demi
kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Ia menjelaskan bahwa dibutuhkan investasi
sebesar 1% dari total pendapatan dunia untuk mencegah hilangnya 5%-20%
pendapatan di masa mendatang akibat dampak perubahan iklim. 5. Dampak sosial,
budaya dan politik Bencana terkait perubahan iklim akan meningkatkan jumlah
pengungsi di dalam suatu negara maupun antar negara. Proses mengungsi ini
membuat orang menjadi miskin dan terpisah dari akar sosial dan budaya mereka,
terutama hubungan dengan tanah leluhur dan kearifan budaya mereka. Di sisi
lain, krisis pangan, air dan sumberdaya terus meningkat, sehingga akan
menimbulkan konflik horizontal dan akhirnya bisa memicu konflik politik di
dalam negara maupun antar negara. 6. Dampak Lingkungan – kepunahan. Hewan dan
tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan global
karena sebagian besar lahan akan dihuni manusia. Tumbuhan akan mengubah arah
pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu
hangat. Banyak jenis makhluk hidup akan terancam punah akibat perubahan iklim
dan gangguan pada kesinambungan wilayah ekosistem (fragmentasi ekosistem), misalnya
terumbu karang akan kehilangan warna akibat cuaca panas, menjadi rusak atau
bahkan mati karena suhu tinggi. Para peneliti memperkirakan bahwa 15%-37% dari
seluruh spesies dapat menjadi punah di enam wilayah bumi pada 2050. Keenam
wilayah yang dipelajari mewakili 20% muka bumi. F. Dampak Perubahan Iklim
terhadap Pertanian dan Perikanan Berdasarkan data dan keterangan dari beberapa
lembaga dan peneliti iklim dan cuaca, perubahan iklim global telah mempengaruhi
pertanian dan perikanan dunia. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
juga menerangkan bahwa telah terjadi penyimpangan cuaca di Indonesia sebagai
akibat dari anomali suhu permukaan laut yang cenderung hangat. Anomali ini juga
terjadi di beberapa negara diantaranya Pakistan, Cina dan Rusia. Di Kabupaten
Sumbawa sendiri dampak dari global climate change ini tidak hanya dirasakan
oleh para nelayan yang fokus usahanya mencari dan menangkap ikan di laut, namun
juga seluruh kalangan masyarakat terutama petani yang mana profesi ini digeluti
oleh sebagian besar masyarakat Pulau Sumbawa dan Indonesia umumnya. Setahun
terakhir banyak sekali petani yang mengalami gagal panen dan nelayan tidak
melaut akibat kondisi iklim dan cuaca yang tidak menentu. Jadwal dan pola
tanampun mengalami perubahan, kondisi ini diperparah karena sebagian besar
petani dan nelayan kita khususnya di Kabupaten Sumbawa merupakan bertani dan
nelayan tradisional yang mana iklim dan cuaca merupakan faktor penentu
sekaligus pembatas keberhasilan usaha mereka. Jane Lubchenco Kepala Badan
Nasional Kelautan dan Atmosfir (NOAA) Amerika Serikat dalam kunjungannya ke
Indonesia beberapa waktu lalu menerangkan bahwa perubahan iklim telah
menimbulkan sirkulasi arus laut dunia atau yang selama ini dikenal dengan
sebutan Great Ocean Conveyor Belt telah berubah. Hal ini menimbulkan dampak
yang signifikan terhadap laut dan mengakibatkan kondisi yang ekstrem. Air laut
bisa menjadi sangat panas atau sebaliknya sangat dingin sekali. Sementara itu
Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Dr. Gellwynn Yusuf dalam salah
satu media masa nasional mengatakan, dengan berubahnya sirkulasi arus laut
dunia, akan membawa dampak yang sangat besar khususnya di bidang perikanan.
Hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh K.E.Trenberth membuktikan bahwa selama
50 tahun terakhir, suhu atmosfir bumi dan konsentrasi karbon dioksida (CO2)
terus meningkat, yang secara langsung kondisi ini juga menaikkan suhu bumi
termasuk komponen akuatik, yaitu sungai, danau dan laut. Dalam salah satu
tulisannya “Effects of Global Climate Change on Marine and Estuarine Fishes and
Fisheries”, J.M. Roessig menyebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, paras laut
meningkat setinggi 0,1-0,3 m dan kemungkinan menutupi area seluas 1 juta km2.
Armi Susandi, pakar perubahan iklim dari Institut Teknologi Bandung juga
sepakan akan hal ini, dia mengatakan bahwa jika permukaan air laut naik
setinggi 1 meter, diperkirakan lahan persawahan seluas 346.808 hektar dan juga
700 buah pulau di Indonesia akan terancam tenggelam yang mana 5% diantaranya
pulau yang berpenghuni. Jika tidak segera ditangani dan berupaya mencari solusi
yang tepat, perubahan iklim global (global climate change) dikhawatirkan akan
mengancam sistem ketahanan pangan kita. Bahkan saat ini disadari atau tidak
global climate change telah memberikan dampak pada sektor industri pertanian
dan perikanan di Indonesia dan dunia baik yang bersekala besar maupun
tradisional, pada akhirnya kondisi ini berimbas pada menurunya pendapatan
sekaligus menghambat perputaran roda perekonomian masyarakat. Karena dampak
dari global climate change ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung serta muncul dalam variasi waktu yang berbeda, maka dibutuhkan
kesigapan, strategi dan perencanaan yang matang dari pemerintah dan pmerintah
daerah dengan memanfaatkan inovasi teknologi, melakukan kajian yang
konfrehansif dan multidisipliner serta menjalin kerja sama dengan semua pihak
untuk dapat menduga sekaligus mengantisipasi dampak yang lebih luas dari
fenomena perubahan iklim global (global climate change) ini. G. Dampak
Perubahan Iklim terhadap Mangrove di Indonesia Perubahan iklim memiliki dampak
yang cukup besar bagi Indonesia. Dampak tersebut diantaranya adalah perubahan
pola dan distribusi curah hujan, bencana banjir dan tanah longsor, dan naiknya
permukaan air laut. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia
menghadapi resiko kehilangan banyak pulau-pulau kecil dan menyempitnya kawasan
pesisir akibat naiknya permukaan air laut. Gregory dan Oerlemans (1998)
memprediksi suhu udara meningkat sekitar 0,30C dan peningkatan muka air laut
global sekitar 6 cm setiap 10 tahun. Susandi et al. (2008) memprediksi kenaikan
muka air laut untuk wilayah Indonesia hingga tahun 2100 sekitar 1,1 m yang
berdampak pada hilangnya daerah pantai dan pulau-pulau kecil seluas 90.260 km2
atau tenggelamnya sekitar 115 buah pulau. Selain itu para ahli telah
memperkirakan presipitasi di Asia Tenggara yang akan meningkat sekitar 3,6% di
tahun 2020-an, 7,1% di tahun 2050, dan 11,3% di tahun 2080-an. Nampaknya iklim
di Asia Tenggara di masa yang akan datang akan menjadi lebih panas dan lebih
basah daripada kondisi saat ini yang memicu terjadinya banjir dan longsor di
musim penghujan, dan kekeringan di musim kemarau. Berdasarkan fenomena di atas,
maka perubahan iklim global akan menyebabkan hilangnya hutan mangrove yang
tumbuh di pulau-pulau kecil seiring dengan tenggelamnya pulau-pulau tersebut.
Disamping itu, akan terjadi penyempitan lebar hutan mangrove yang tumbuh di
pantai-pantai pulau yang tidak tenggelam tetapi lahan di kawasan pesisir di
belakang mangrove banyak diokupasi oleh penduduk. Namun, bagi mangrove yang
tumbuh di kawasan pesisir yang tidak banyak diokupasi oleh penduduk,
diperkirakan lebar mangrove akan meluas ke pedalaman. H. Pencegahan dan
Penanggulangan Perubahan Iklim Global Perubahan iklim ini harus diatasi
bersama-sama dan tidak ditunda-tunda. Setiap negara harus memberi kontribusi
dengan tindakan-tindakan yang dilakukan di dalam negerinya sendiri sesuai
kemampuan masing-masing. Negara maju harus membantu negara miskin. Bentuk
bantuan itu tidak saja berupa bantuan teknis dan ekonomi, namun dibutuhkan juga
tekanan politik yang positif untuk menanamkan urgensi masalah ini dan
mendapatkan komitmen dari para pemimpin untuk bertindak. Apabila negara-negara
maju mau memperlambat laju pertumbuhan kemakmurannya dan memberikan kesempatan
kepada negara yang miskin untuk meningkatkan kemakmuran dengan cara yang
bertanggungjawab terhadap lingkungannya, maka pada suatu saat akan tercapai
suatu ekuilibrium yang membuat perbuatan manusia semakin berimbang dan
perubahan iklim global pun akan cenderung kembali ke arah yang positif.
Mengingat begitu seriusnya dampak pemanasan global dan perubahan iklim kiranya
sangat penting untuk melakukan upaya-upaya pencegahan terutama dimulai dari
hal-hal kecil yang dapat kita lakukan pada skala rumah tangga seperti di bawah
ini 1. Hemat penggunaan listrik a. Gunakan lampu hemat energi b. Pilih
alat-alat elektronik yang kapasitasnya sesuai kebutuhan rumahtangga kita,
misalnya Magic Com/Magic Jar sesuai kebutuhan sekeluarga sehari; c. Gunakan
mesin cuci sesuai kapasitasnya, bila cucian sangat sedikit sebaiknya
dikumpulkan dahulu hingga sesuai dg kapasitas mesin cuci kita; d. Matikan
alat-alat elektronik yang sedang tidak digunakan; e. Upayakan rumah
berventilasi baik sehingga tidak terlalu tergantung pada penggunaan Air
Condition (AC); f. Upayakan rumah mendapatkan cahaya matahari secara optimal
sehingga pada siang hari tidak perlu menggunakan lampu. 2. Hemat penggunaan
kertas dan tinta a. Untuk keperluan menulis konsep/corat-coret sebaiknya
menggunakan kertas bekas, misalnya bekas print yang baliknya masih kosong b.
Batasi penggunaan produk disposable/sekali pakai misalnya: tissue,
diaper/pamper, dsb c. Kertas-kertas bekas dikumpulkan dan diberikan kepada
pemulung. 3. Hemat penggunaan air Berikut ini tips-tips hemat air: a. Bila
menggunakan shower atau washtafel, matikan kran pada saat anda bercukur,
menggosok gigi dan kramas dengan cara ini anda dapat berhemat sampai dengan
lebih dari 6000 L air perminggu; b. Kumpulkan air bekas mencuci sayur, gunakan
air bekas ini untuk sekedar menyiram tanaman, merendam lap-lap kotor dll.; c.
Lakukan cuci mobil menggunakan air dalam ember dan lap, jangan gunakan kran
air; d. Periksa secara berkala dan ganti kran atau pipa air yang mulai bocor,
anda dapat menghemat hingga 9500 Liter air perbulan. 4. Hemat penggunaan bahan
bakar a. Lakukan perawatan yang baik pada mesin kendaraan anda; b. Periksa
tekanan ban kendaraan anda, tekanan ban yang akurat dapat menghemat BBM; c.
Hindari penggunaan kendaraan yang sistem pembakaran pada mesinnya sudah tidak
efisien; d. Gunakan kendaraan sesuai kebutuhan, misalnya jika hanya bepergian
sendiri lebih baik gunakan sepeda motor daripada mobil; 5. Pengelolaan
sampah/limbah yang baik a. Pisahkan sampah organik dan non organik, sampah
organik. Dapat dibuat kompos; b. Sampah organik dapat dibuat bahan isian untuk
biopori; c. Hindari membakar sampah; d. Bila berbelanja bawalah tas belanjaan
sendiri, sehingga menghindari penggunaan tas plastik. KESIMPULAN 1. Perubahan
Iklim Global adalah perubahan pola perilaku iklim dalam kurun waktu tertentu
yang relatif panjang (sekitar 30 tahunan). Perubahan Iklim Global ini merupakan
perubahan unsur-unsur iklim (suhu, tekanan, kelembaban, hujan, angin,dan
sebagainya) secara global terhadap normalnya 2. Perubahan iklim global
Indonesia dirasakan sebagai kenaikan suhu rata-rata tiap tahun, musim hujan
datang lebih lambat, variasi musiman dan cuaca ekstrim , kenaikan permukaan air
laut, dan lainnya 3. Penyebab perubahan iklim global antara lain adalah efek
dari pemanasan global dan efek rumah kaca 4. Dampak perubahan iklim global
antara lain perubahan jumlah curah hujan, mencairnya es di kutub utara, naiknya
permukaan laut, dan lain-lain. 5. Di Indonesia dampak perubahan iklim global
anatara lain kerusakan pesisir pantai termasuk mangrove, turunnya produksi
pertanian dan perikanan, tingginya variasi penyakit seperti malaria, dan
lain-lain
Pengertian Iklim dan Perubahan Iklim
|
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi
iklim sama saja dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah
suatu kondisi yang tidak sama.
Beberapa definisi cuaca adalah :
Keadaan atmosfer secara keseluruhan pada
suatu saat termasuk perubahan, perkembangan dan menghilangnya suatu fenomena
(World Climate Conference, 1979).
Keadaan variable atmosfer secara keseluruhan
disuatu tempat dalam selang waktu yang pendek (Glen T. Trewartha, 1980).
Keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan
nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan
berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang
pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun) (Gibbs, 1987).
Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang
cuaca disebut meteorologi.
Sedangkan iklim didefinisikan sebagai
berikut :
Sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu
yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan
nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World
Climate Conference, 1979).
Konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan
cuaca dan unsur-unsur atmosfer disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang
(Glenn T. Trewartha, 1980).
Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer,
antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah
selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).
Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang
iklim disebut klimatologi.
Adapun definisi perubahan iklim adalah
berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi
antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap
berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan Hidup, 2001).
Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang
panjang.
LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim
adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu
daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah
perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan.
IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim
merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada
variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang
(biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan
iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal, atau
ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna
lahan.
Istilah perubahan iklim sering digunakan
secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan
global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim
tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait
seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Pemanasan
global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan
permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola
iklim global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca
yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu
sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim
global (Budianto, 2000).
Meskipun pemanasan global hanya merupakan 1
bagian dalam fenomena perubahan iklim, namun pemanasan global menjadi hal yang
penting untuk dikaji. Hal tersebut karena perubahan temperatur akan
memperikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas manusia. Perubahan
temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan yang pada tahap selanjutkan
akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup, apa tumbuhan yang kita
makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat menanam bahan makanan,
dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya bahwa pemanasan global
akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
Studi perubahan iklim melibatkan analisis
iklim masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di
masa yang akan datang (beberapa dekade atau abad ke depan). Hal ini tidak
terlepas juga dari interaksi dinamis antara sejumlah komponen sistem iklim seperti
atmosfer, hidrofer (terutama lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan
biosfer, dan pedosfer. Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan
iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau
sistem bumi.
PERUBAHAN IKLIM (GLOBAL CLIMATE CHANGE)
Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim berdampak terjadinya perubahan sosial atau kependudukan dan budaya. Berbagai kajian sosial menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan sangat erat dengan pola iklim. Hasil kajian IPCC (2007) menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 tercatat adanya 12 tahun terpanas berdasarkan data temperatur permukaan global. Sebelas dari duabealas tahun terpanas tersebut terjadi dalam waktu 12 tahun terakhir ini. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,76Ëš. Permukaan air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1.8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara lain antara tahun 1961-2003. Kenaikan total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menanggulanginya. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekwensi maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim. IPCC menyatakan bahwa pemanasan globa dapat menyebabkan terjadi perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin,mempengaruhi masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi (termasuk ekosistem di daerah Artuka dan Antartika), lokasi yang tinggi, serta ekosistem-ekosistem pantai. Jika tidak ada upaya yang sistematis dan terintegrasi untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dan perbaikan kondisi lingkungan lokal dan global mulai dari sekarang, maka dampak yang ditimbulkan akibat adanya perubahan iklim ke depan akan semakin besar dan lebih lanjut akan berdampak pada sulitnya mencapai sistem pembangunan yang berkelanjutan.Penanganan masa perubahan iklim dalam konteks pembangunan membutuhkan manajemen perubahan iklim secara efektif, dan pada saat bersamaan mengantisispasi dampak perubahan iklim global jangka panjang secara komprehensif. Juga membutuhkan pendekatan lintas sektor baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal.Dalam menghadai perubahan iklim, penigkatan ketahanan sistem dalam masyarakat untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi dan mitigasi. Adaptasi merupakan tindakan penyesuain sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Namun upaya tersebut akan sulit memberi mandaat secara efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Oleh karena itu, adaptasi harus diimbangi dengan mitigasi, yaitu upaya mengurangi sumber maupun peningkatan rosot (penyerap) gas rumah kaca, agar suspaya proses pembangunan tidak terhambat dan tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Dengan demikian, generasi yang akan datang tidak terbebani oleh ancaman perubahan iklim secara lebih berat. |
PENGERTIAN PERUBAHAN IKLIM
2.1 Pengertian Perubahan Iklim
Menurut United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCC) Perubahan Iklim adalah perubahan yang disebabkan oleh
aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah
komposisi atmosfer secara global dan mengakibatkan perubahan variasi iklim yang
dapat diamati dan dibandingkan selama kurun waktu tertentu.
Panel Antar pemerintahan PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang berhasil meyakinkan negara-negara di dunia lewat fakta-fakta ilmiah hubungan antara aktivitas manusia dengan pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim (man-made climate change), setelah beberapa lama hanya dianggap sebagai hipotesa belaka. Keberhasilan dalam peningkatan kesadaran ini, yang sekaligus memberikan dasar bagi upaya solusinya, mengantarkan IPCC menerima Hadiah Nobel Perdamaian bersama Al Gore pada 2007.
Telah diperkirakan oleh para ilmuwan, daerah bagian utara dari belahan Bumi Utara akan memanas lebih dari daerah-daerah lainnya di Bumi. Hal ini berakibat akan mencairnya gunung-gunung es dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan.
Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
2.2 Penyebab Terjadinya Perubahan Iklim
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Selain itu pertambahan populasi penduduk dan pesatnya pertumbuhan teknologi dan industri ternyata juga memberikan kontribusi besar pada pertambahan GRK. Akibat jenis aktivitas yang berbedabeda, maka GRK yang dikontribusikan olehsetiap negara ke atmosfer pun porsinya berbedabeda.
Di Indonesia sendiri GRK yang berasal dari aktivitas manusia dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu (1) kerusakan hutan termasuk perubahan tata guna lahan, (2) pemanfaatan energi fosil, (3) pertanian dan peternakan, serta (4) sampah.
Pemanfaatan energi secara berlebihan, terutama energi fosil, merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim secara global. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun penebangan liar, juga menambah jumlah GRK yang dilepaskan ke atmosfer secara signifikan serta fungsi hutan sebagai penyerap emisi GRK.
Selain itu pertanian dan peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang GRK berupa gas metana (CH4) yang ternyata memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida (CO2)
a) Kehutanan
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan luas hutan terbesar, yaitu 120,3 juta hektar (FWI/GFW, 2001). Sekitar 17% dari luasan tersebut adalah hutan konservasi dan 23% hutan lindung, sementara sisanya adalah hutan produksi (FWI/ GFW, 2001). Dari sisi keanekaragaman hayati, Indonesia termasuk negara paling kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut situs web Indonesian National Parks, Indonesia memiliki sekitar 10% spesies tanaman dari seluruh tanaman di dunia, 12% spesies mamalia (terbanyak di seluruh dunia), 16% reptil dan amfibi, 17% spesies burung dan lebih dari 25% spesies ikan di seluruh dunia. Hampir seluruh spesies tersebut endemik atau tak terdapat di negara lain.
Padahal jika hutan beserta keanekaragaman hayatinya dipelihara dengan baik, maka esungguhnya akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, baik secara sosial maupun konomi. Apalagi sektor-sektor seperti kehutanan, pertanian dan perikanan, esehatan, ilmu pengetahuan, industri dan pariwisata, sesungguhnya sangat ergantung pada keberadaan keanekaragaman hayati. Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Sejak tahun 1970-an, kerusakan hutan mulai menjadi isu penting, dimana penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran. Menurut data Forest Watch Indonesia, laju kerusakan hutan pada tahun 1985-1997 telah mencapai sebesar 2,2 juta per tahun (FWI, 2001). Kerusakan hutan terutama disebabkan oleh penebangan liar, kebakaran hutan (yang disengaja dan tidak disengaja), perkebunan skala besar serta kerusakan- kerusakan yang ditimbulkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Salah satu fungsi hutan sendiri adalah sebagai penyerap emisi GRK (biasa juga disebut emisi karbon). Hutan dapat menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis GRK, menjadi oksigen (O2) yang merupakan kebutuhan utama bagi mahluk hidup. Ini berarti dengan luasan hutan Indonesia yang cukup luas, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), sudah tentu emisi karbon yang dapat diserap jumlahnya tak sedikit, sehingga laju terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim dapat dihambat.
Adapun jumlah CO2 yang telah diserap oleh hutan Indonesia pada tahun 1990 adalah sebesar 1500 MtCO2 (In11 donesia: The First National Communication under UNFCCC, 1990). Sedangkan pada tahun 1994, hutan Indonesia hanya menyerap sekitar 404 MtCO2 (NET dan Pelangi, 2000). Jadi, hanya dalam waktu 4 tahun, hutan Indonesia sudah "berhasil" melepaskan emisi GRK ke atmosfer sebesar 1.096 MtCO2
Pada tahun 1990, emisi CO2 yang dilepaskan oleh sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan adalah sebesar 64% dari total emisi GRK di Indonesia. Sementara pada tahun 1994, angka tersebut meningkat menjadi 74% (Pelangi, 2000). Tahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan yang cukup besar di Indonesia, dimana 80% dari kejadian tersebut terjadi di lahan gambut. Sementara lahan gambut sendiri merupakan penyerap emisi karbon, terbesar di dunia. Akibat peristiwa kebakaran tersebut, sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon dilepaskan ke atmosfer.
Angka ini setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahun. Kerugian finansial yang harus ditanggung oleh Indonesia akibat peristiwa ini adalah sebesar US$ 3 milyar dari hilangnya kayu, pertanian, produksi hutan non-kayu, konservasi tanah, dan lain-lain (Susan E. Page, et al, 2002).
Jika tidak segera diatasi, maka kerusakan hutan di Indonesia akan mengakibatkan akumulasi GRK di atmosfer meningkat dengan cepat, sehingga menambah cepat laju proses perubahan iklim.
b) Energi
Dapat dikatakan kehidupan manusia saat ini tak bisa lepas dari energi listrik dan bahan bakar fosil. Ketergantungan itu ternyata membawa dampak yang buruk bagi kehidupan umat manusia. Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam dalam berbagai kegiatan, misalnya pada pembangkitan listrik, transportasi dan industri, akan memicu bertambahnya jumlah emisi GRK di atmosfer.
Walaupun sama-sama menghasilkan emisi GRK, namun emisi yang dihasilkan dari penggunaan ketiga jenis bahan bakar fosil tersebut berbeda-beda. Selain penggunaan pembangkit tenaga listrik bertenaga batubara yang tidak ramah lingkungan, Indonesia juga termasuk sebagai negara pengkonsumsi energi terbesar di Asia, setelah Cina, Jepang, India dan Korea Selatan. Total konsumsi energi di Indonesia melonjak tinggi sekitar 4 kali selama dua dekade terakhir ini, dari sekitar 174 juta Setara Barel Minyak (BOE= Barrel of Oil Equivalent) pada tahun 1980 menjadi sekitar 666 juta BOE di tahun 2000 (DJLPE, 2002). Tingginya konsumsi energi, disebabkan oleh adanya pemahaman keliru yang menyatakan bahwa Indonesia sangat kaya akan minyak, gas dan batubara, dimana cadangannya tidak akan pernah habis.
Kita seringkali lupa bahwa untuk mendapatkan bahan bakar fosil kita harus menunggu ribuan hingga jutaan tahun. Sementara cadangan bahan bakar fosil yang ada saat ini di Indonesia (dan juga di dunia) sudah mulai menipis. Dengan cadangan terbukti sekitar 5 milyar barel dan tingkat produksi sekitar 500 juta barel, maka minyak bumi Indonesia akan habis kurang dari 10 tahun mendatang, yaitu pada tahun 2013. Untuk gas alam dengan kapasitas produksi sekitar 3 TSCF, maka cadangan terbuktinya yang hanya 90 TSCF akan habis dalam 3 dekade (30 tahun) mendatang.
Sementara, batubara dengan cadangan terbukti sebesar 50 ton hanya mampu bertahan selama 50 tahun, jika produksi tetap dipertahanan seperti sekarang yaitu sebesar 100 juta ton/tahun. Namun, seperti yang telah diuraikan di atas, pemanfaatan batubara akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan, karena sebagai menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dibanding minyak maupun gas bumi.
Dari sisi pemanfaatan energi, sektor industri di Indonesia merupakan sektor yang mengemisikan karbon paling besar disbanding sektor lainnya (lihat grafik 1). Sementara sektor transportasi menempati posisi ke-2 pengemisi karbon tertinggi.
Sama dengan pemanfaatan energi listrik, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003), sekitar 70% total konsumsi energi final di Indonesia pada 2002 berupa BBM. Menempati urutan kedua adalah listrik, yaitu sekitar 10%.
c) Pertanian dan Peternakan
Sektor pertanian juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi GRK, khususnya gas metana (CH4) yang dihasilkan dari sawah tergenang. Sektor pertanian menghasilkan emisi gas metana tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya. Selain metana, GRK lain yang dikontribusikan dari sector pertanian adalah dinitro oksida (N2O) yang dihasilkan dari pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian.
Pembakaran padang sabana dan sisa-sisa pertanian yang membusuk juga merupakan sumber emisi GRK. Sektor peternakan juga tak kalah dalam mengemisikan GRK, karena ternyata kotoran ternak yang membusuk akan melepaskan gas metana (CH4) ke atmosfer. Sebagai ilustrasi, setiap 1 kg kotoran ternak melepaskan sekitar 230 liter gas metana ke atmosfer (S. V. Srinivasan). Padahal, kalau saja kita mau sedikit berupaya untuk mengolahnya, kotoran ternak bisa mendatangkan keuntungan. Salah satunya bisa diolah menjadi biogas, bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan.
d) Sampah
Kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah 0,8 kg per hari dan terus meningkat hingga 1 kg per orang per hari pada tahun 2000. Diperkirakan timbunan sampah pada tahun 2020 untuk tiap orang per hari adalah sebesar 2,1 kg. Sampah sendiri turut menghasilkan emisi GRK berupa gas metana, walaupun dalam jumlah yang cukup kecil dibandingkan emisi GRK yang dihasilkan dari sektor kehutanan dan energi. Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana.
Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan per hari sekitar 500 juta kg atau sekitar 190 ribu ton per tahun. Dengan jumlah sampah yang sedemikian besar, maka Indonesia akan mengemisikan gas metana ke atmosfer sekitar 9500 ton per tahun. Jika sampah kota tidak dikelola secara benar, maka laju pemanasan global dan perubahan iklim akan semakin cepat, mengingat potensi pemanasan global CH4 yang besarnya 21 kali potensi pemanasan global CO2.
2.3 Akibat Terjadinya Perubahan Iklim
Beberapa dampak perubahan iklim yang mungkin timbul di antaranya:
a. peningkatan suhu, suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,3 derajat Celsius pada seluruh musim terutama sejak 1990;
b. peningkatan intensitas curah hujan, di Indonesia curah hujan per tahun diperkirakan meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, dalam periode yang lebih pendek tetapi meningkatkan resiko banjir secara signifikan;
c. ancaman terhadap ketahanan pangan pada bidang pertanian;
d. naiknya permukaan air laut yang akan berakibat pada tergenangnya daerah produktif pantai seperti pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung;
e. air laut bertambah hangat, yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati laut dan terlebih pada terumbu karang yang sudah terancam (coral bleaching);
f. merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vektor seperti malaria dan demam berdarah.
Penyebab dari pemanasan global dan perubahan iklim akibat aktivitas manusia ini terutama berasal dari aktivitas industri dan perusakan hutan dan perubahan tata guna lahan.
Dalam diskusi politik antar negara (internasional) dalam mengatasi masalah ini, ada pihak penghasil emisi dan pihak penyerap emisi. Negara-negara penyerap karbon yaitu pemilik hutan yang kebanyakan merupakan negara-negara berkembang akan berusaha mencoba menjaga lahannya, dan sebagai kompensasinya negara penghasil emisi yang umumnya negara-negara industri akan membayar apa yang telah mereka keluarkan. Yang menjadi masalahnya yaitu bagaimana menghargai nilai karbon itu.[ii] Inilah ide dibalik skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
2.3 Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perubahan Iklim
Dampak dari perubahan iklim itu sendiri diantaranya yaitu : peningkatan permukaan laut (bayangkan jika kita yang ada di dataran rendah, kawasan pesisir khususnya kelak akan tergenang oleh air laut, kiamat!?!?), dan berakibat juga pada perubahan pola hujan karena meningkatnya temperatur suhu.
Oleh sebab itu mari kita mulai menanggulanginya dimulai dari diri kita sendiri dari hal yang kecil mulai sekarang!! Caranya diantaranya,
Berhenti atau kurangilah makan dagingØ
Dalam laporannya yang berjudul Livestock’s Long Shadow : Enviromental lssues and Options (dirilis November 2006), PBB mencatat bahwa 18% dari pemanasan global yang terjadi saat ini disumbangkan oleh industri peternakan, yang mana lebih besar daripada efek pemanasan global yang dihasilkan oleh seluruh alat transportasi dunia digabungkan! PBB juga menambahkan bahwa emisi yang dihitung hanya berdasarkan emisi CO2 yang dihasilkan, padahal selain sebagai kontributor CO2 yang hebat, industri peternakan juga merupakan salah satu sumber utama pencemaran tanah dan sumber-sumber air bersih.
Sebuah laporan dari Earth Institute menegaskan bahwa diet berbasis tanaman hanya membutuhkan 25% energi yang dibutuhkan oleh diet berbasis daging. Penelitian yang dilakukan Profesor Gidon Eshel dan Pamela Martin dari Universitas Chicago juga memberikan kesimpulan yang sama: mengganti pola makan daging dengan pola makan vegetarian 50% lebih efektif untuk mencegah pemanasan global dari pada mengganti sebuah mobil SUV dengan mobil hibrida.
Seorang vegetarian dengan standar diet orang Amerika akan menghemat 1,5 ton emisi rumah kaca setiap tahunnya! Seorang vegetarian yang mengendarai SUV ffummer masih lebih bersahabat dengan lingkungan daripada seorang pemakan dagrng yang mengendarai sepeda!
Batasilah emisi karbon dioksida!Ø
Bila memungkinkan, carilah sumber-sumber energi alternatif yang tidak menghasilkan emisi CO2 seperti tenaga matahari, air, angin, nuklir, dan lain-lain. Bila terpaksa harus menggunakan bahan bakar fosil (yang mana akan menghasilkan emisi CO2), gunakanlah dengan bijak dan efisien.
Hal ini termasuk menghemat listrik dan energi, apalagi Indonesia termasuk negara yang banyak menggunakan bahan bakar fosil (minyak, batubara) untuk pembangkit listriknya.
Matikanlah peralatan listrik ketika tidak digunakan, gunakan lampu hemat energi, dan gunakanlah panel surya sebagai energi alternatif.
Tanamlah lebih banyak pohon!Ø
Tanaman hijau menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam jaringannya. Tetapi setelah mati mereka akan melepaskan kembali CO2 ke udara. Lingkungan dengan banyak tanaman akan mengikat CO2 dengan baik, dan harus dipertahankan oleh generasi mendatang. Jika tidak, maka karbon yang sudah tersimpan dalam tanaman akan kembali terlepas ke atmosfer sebagai CO2.
Peneliti dari Louisiana Tech University menemukan bahwa setiap acre pepohonan hijau dapat menangkap karbon yang cukup untuk mengimbangi emisi yang dihasilkan dari mengendarai sebuah mobil selama setahun.
Sebuah studi yang dilakukan oleh layanan perhutanan di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa penanaman 95.000 pohon yang dilakukan di dua kota kecil di Chicago memberikan udara yang lebih bersih dan menghemat biaya yang berhubungan dengan pemanasan dan pendinginan udara sebesar lebih dari US$38 juta dalam 30 tahun ke depan.
Daur ulang (recycle) dan gunakan ulangØ
Kalkulasi yang dilakukan di California menunjukkan bahwa apabila proses daur ulang dapat diterapkan hingga di level negara bagian California, maka energi yang dihemat cukup untuk memberikan suplai energi bagi 1,4 juta rumah, mengurangi 27.047 ton polusi air, menyelamatkan 14 juta pohon, dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga setara dengan 3,8 juta mobil!.
Gunakan alat transportasi alternatif untu mengurangi emisi karbonØ
Penelitian yang dilakukan Universitas Chicago menunjukkan bahwa beralih dari mobil konvensional ke mobil hibrida seperti Toyota Prius dapat menghemat 1ton emisi per tahun.
Mengkonsumsi makanan produk lokal akan mengurangi emisi dalam jumlah yang cukup signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Iowa State University pada tahun 2003 menemukan bahwa makanan non-lokal rata-rata menempuh 1.494 mil sebelum dikonsumsi, bandingkan dengan makanan lokal yang hanya menempuh 56 mil. Bayangkan betapa banyak emisi karbon yang dihemat dengan perbedaan 1.438 mil tersebut.
Gunakan sepeda sebanyak yang Anda bisa sebagai metode transportasi. Selain menghemat banyak energi, bersepeda juga merupakan olah raga yang menyehatkan.
Panel Antar pemerintahan PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang berhasil meyakinkan negara-negara di dunia lewat fakta-fakta ilmiah hubungan antara aktivitas manusia dengan pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim (man-made climate change), setelah beberapa lama hanya dianggap sebagai hipotesa belaka. Keberhasilan dalam peningkatan kesadaran ini, yang sekaligus memberikan dasar bagi upaya solusinya, mengantarkan IPCC menerima Hadiah Nobel Perdamaian bersama Al Gore pada 2007.
Telah diperkirakan oleh para ilmuwan, daerah bagian utara dari belahan Bumi Utara akan memanas lebih dari daerah-daerah lainnya di Bumi. Hal ini berakibat akan mencairnya gunung-gunung es dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan.
Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
2.2 Penyebab Terjadinya Perubahan Iklim
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Selain itu pertambahan populasi penduduk dan pesatnya pertumbuhan teknologi dan industri ternyata juga memberikan kontribusi besar pada pertambahan GRK. Akibat jenis aktivitas yang berbedabeda, maka GRK yang dikontribusikan olehsetiap negara ke atmosfer pun porsinya berbedabeda.
Di Indonesia sendiri GRK yang berasal dari aktivitas manusia dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu (1) kerusakan hutan termasuk perubahan tata guna lahan, (2) pemanfaatan energi fosil, (3) pertanian dan peternakan, serta (4) sampah.
Pemanfaatan energi secara berlebihan, terutama energi fosil, merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim secara global. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun penebangan liar, juga menambah jumlah GRK yang dilepaskan ke atmosfer secara signifikan serta fungsi hutan sebagai penyerap emisi GRK.
Selain itu pertanian dan peternakan serta sampah berperan sebagai penyumbang GRK berupa gas metana (CH4) yang ternyata memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida (CO2)
a) Kehutanan
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan luas hutan terbesar, yaitu 120,3 juta hektar (FWI/GFW, 2001). Sekitar 17% dari luasan tersebut adalah hutan konservasi dan 23% hutan lindung, sementara sisanya adalah hutan produksi (FWI/ GFW, 2001). Dari sisi keanekaragaman hayati, Indonesia termasuk negara paling kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut situs web Indonesian National Parks, Indonesia memiliki sekitar 10% spesies tanaman dari seluruh tanaman di dunia, 12% spesies mamalia (terbanyak di seluruh dunia), 16% reptil dan amfibi, 17% spesies burung dan lebih dari 25% spesies ikan di seluruh dunia. Hampir seluruh spesies tersebut endemik atau tak terdapat di negara lain.
Padahal jika hutan beserta keanekaragaman hayatinya dipelihara dengan baik, maka esungguhnya akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, baik secara sosial maupun konomi. Apalagi sektor-sektor seperti kehutanan, pertanian dan perikanan, esehatan, ilmu pengetahuan, industri dan pariwisata, sesungguhnya sangat ergantung pada keberadaan keanekaragaman hayati. Selama ini yang terjadi justru sebaliknya. Sejak tahun 1970-an, kerusakan hutan mulai menjadi isu penting, dimana penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran. Menurut data Forest Watch Indonesia, laju kerusakan hutan pada tahun 1985-1997 telah mencapai sebesar 2,2 juta per tahun (FWI, 2001). Kerusakan hutan terutama disebabkan oleh penebangan liar, kebakaran hutan (yang disengaja dan tidak disengaja), perkebunan skala besar serta kerusakan- kerusakan yang ditimbulkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Salah satu fungsi hutan sendiri adalah sebagai penyerap emisi GRK (biasa juga disebut emisi karbon). Hutan dapat menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis GRK, menjadi oksigen (O2) yang merupakan kebutuhan utama bagi mahluk hidup. Ini berarti dengan luasan hutan Indonesia yang cukup luas, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), sudah tentu emisi karbon yang dapat diserap jumlahnya tak sedikit, sehingga laju terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim dapat dihambat.
Adapun jumlah CO2 yang telah diserap oleh hutan Indonesia pada tahun 1990 adalah sebesar 1500 MtCO2 (In11 donesia: The First National Communication under UNFCCC, 1990). Sedangkan pada tahun 1994, hutan Indonesia hanya menyerap sekitar 404 MtCO2 (NET dan Pelangi, 2000). Jadi, hanya dalam waktu 4 tahun, hutan Indonesia sudah "berhasil" melepaskan emisi GRK ke atmosfer sebesar 1.096 MtCO2
Pada tahun 1990, emisi CO2 yang dilepaskan oleh sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan adalah sebesar 64% dari total emisi GRK di Indonesia. Sementara pada tahun 1994, angka tersebut meningkat menjadi 74% (Pelangi, 2000). Tahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan yang cukup besar di Indonesia, dimana 80% dari kejadian tersebut terjadi di lahan gambut. Sementara lahan gambut sendiri merupakan penyerap emisi karbon, terbesar di dunia. Akibat peristiwa kebakaran tersebut, sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon dilepaskan ke atmosfer.
Angka ini setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahun. Kerugian finansial yang harus ditanggung oleh Indonesia akibat peristiwa ini adalah sebesar US$ 3 milyar dari hilangnya kayu, pertanian, produksi hutan non-kayu, konservasi tanah, dan lain-lain (Susan E. Page, et al, 2002).
Jika tidak segera diatasi, maka kerusakan hutan di Indonesia akan mengakibatkan akumulasi GRK di atmosfer meningkat dengan cepat, sehingga menambah cepat laju proses perubahan iklim.
b) Energi
Dapat dikatakan kehidupan manusia saat ini tak bisa lepas dari energi listrik dan bahan bakar fosil. Ketergantungan itu ternyata membawa dampak yang buruk bagi kehidupan umat manusia. Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam dalam berbagai kegiatan, misalnya pada pembangkitan listrik, transportasi dan industri, akan memicu bertambahnya jumlah emisi GRK di atmosfer.
Walaupun sama-sama menghasilkan emisi GRK, namun emisi yang dihasilkan dari penggunaan ketiga jenis bahan bakar fosil tersebut berbeda-beda. Selain penggunaan pembangkit tenaga listrik bertenaga batubara yang tidak ramah lingkungan, Indonesia juga termasuk sebagai negara pengkonsumsi energi terbesar di Asia, setelah Cina, Jepang, India dan Korea Selatan. Total konsumsi energi di Indonesia melonjak tinggi sekitar 4 kali selama dua dekade terakhir ini, dari sekitar 174 juta Setara Barel Minyak (BOE= Barrel of Oil Equivalent) pada tahun 1980 menjadi sekitar 666 juta BOE di tahun 2000 (DJLPE, 2002). Tingginya konsumsi energi, disebabkan oleh adanya pemahaman keliru yang menyatakan bahwa Indonesia sangat kaya akan minyak, gas dan batubara, dimana cadangannya tidak akan pernah habis.
Kita seringkali lupa bahwa untuk mendapatkan bahan bakar fosil kita harus menunggu ribuan hingga jutaan tahun. Sementara cadangan bahan bakar fosil yang ada saat ini di Indonesia (dan juga di dunia) sudah mulai menipis. Dengan cadangan terbukti sekitar 5 milyar barel dan tingkat produksi sekitar 500 juta barel, maka minyak bumi Indonesia akan habis kurang dari 10 tahun mendatang, yaitu pada tahun 2013. Untuk gas alam dengan kapasitas produksi sekitar 3 TSCF, maka cadangan terbuktinya yang hanya 90 TSCF akan habis dalam 3 dekade (30 tahun) mendatang.
Sementara, batubara dengan cadangan terbukti sebesar 50 ton hanya mampu bertahan selama 50 tahun, jika produksi tetap dipertahanan seperti sekarang yaitu sebesar 100 juta ton/tahun. Namun, seperti yang telah diuraikan di atas, pemanfaatan batubara akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan, karena sebagai menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi dibanding minyak maupun gas bumi.
Dari sisi pemanfaatan energi, sektor industri di Indonesia merupakan sektor yang mengemisikan karbon paling besar disbanding sektor lainnya (lihat grafik 1). Sementara sektor transportasi menempati posisi ke-2 pengemisi karbon tertinggi.
Sama dengan pemanfaatan energi listrik, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia mengalami peningkatan tiap tahunnya. Menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2003), sekitar 70% total konsumsi energi final di Indonesia pada 2002 berupa BBM. Menempati urutan kedua adalah listrik, yaitu sekitar 10%.
c) Pertanian dan Peternakan
Sektor pertanian juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi GRK, khususnya gas metana (CH4) yang dihasilkan dari sawah tergenang. Sektor pertanian menghasilkan emisi gas metana tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya. Selain metana, GRK lain yang dikontribusikan dari sector pertanian adalah dinitro oksida (N2O) yang dihasilkan dari pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian.
Pembakaran padang sabana dan sisa-sisa pertanian yang membusuk juga merupakan sumber emisi GRK. Sektor peternakan juga tak kalah dalam mengemisikan GRK, karena ternyata kotoran ternak yang membusuk akan melepaskan gas metana (CH4) ke atmosfer. Sebagai ilustrasi, setiap 1 kg kotoran ternak melepaskan sekitar 230 liter gas metana ke atmosfer (S. V. Srinivasan). Padahal, kalau saja kita mau sedikit berupaya untuk mengolahnya, kotoran ternak bisa mendatangkan keuntungan. Salah satunya bisa diolah menjadi biogas, bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan.
d) Sampah
Kegiatan manusia selalu menghasilkan sampah. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah 0,8 kg per hari dan terus meningkat hingga 1 kg per orang per hari pada tahun 2000. Diperkirakan timbunan sampah pada tahun 2020 untuk tiap orang per hari adalah sebesar 2,1 kg. Sampah sendiri turut menghasilkan emisi GRK berupa gas metana, walaupun dalam jumlah yang cukup kecil dibandingkan emisi GRK yang dihasilkan dari sektor kehutanan dan energi. Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana.
Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan per hari sekitar 500 juta kg atau sekitar 190 ribu ton per tahun. Dengan jumlah sampah yang sedemikian besar, maka Indonesia akan mengemisikan gas metana ke atmosfer sekitar 9500 ton per tahun. Jika sampah kota tidak dikelola secara benar, maka laju pemanasan global dan perubahan iklim akan semakin cepat, mengingat potensi pemanasan global CH4 yang besarnya 21 kali potensi pemanasan global CO2.
2.3 Akibat Terjadinya Perubahan Iklim
Beberapa dampak perubahan iklim yang mungkin timbul di antaranya:
a. peningkatan suhu, suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0,3 derajat Celsius pada seluruh musim terutama sejak 1990;
b. peningkatan intensitas curah hujan, di Indonesia curah hujan per tahun diperkirakan meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, dalam periode yang lebih pendek tetapi meningkatkan resiko banjir secara signifikan;
c. ancaman terhadap ketahanan pangan pada bidang pertanian;
d. naiknya permukaan air laut yang akan berakibat pada tergenangnya daerah produktif pantai seperti pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung;
e. air laut bertambah hangat, yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati laut dan terlebih pada terumbu karang yang sudah terancam (coral bleaching);
f. merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vektor seperti malaria dan demam berdarah.
Penyebab dari pemanasan global dan perubahan iklim akibat aktivitas manusia ini terutama berasal dari aktivitas industri dan perusakan hutan dan perubahan tata guna lahan.
Dalam diskusi politik antar negara (internasional) dalam mengatasi masalah ini, ada pihak penghasil emisi dan pihak penyerap emisi. Negara-negara penyerap karbon yaitu pemilik hutan yang kebanyakan merupakan negara-negara berkembang akan berusaha mencoba menjaga lahannya, dan sebagai kompensasinya negara penghasil emisi yang umumnya negara-negara industri akan membayar apa yang telah mereka keluarkan. Yang menjadi masalahnya yaitu bagaimana menghargai nilai karbon itu.[ii] Inilah ide dibalik skema REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).
2.3 Solusi dan Pencegahan Terjadinya Perubahan Iklim
Dampak dari perubahan iklim itu sendiri diantaranya yaitu : peningkatan permukaan laut (bayangkan jika kita yang ada di dataran rendah, kawasan pesisir khususnya kelak akan tergenang oleh air laut, kiamat!?!?), dan berakibat juga pada perubahan pola hujan karena meningkatnya temperatur suhu.
Oleh sebab itu mari kita mulai menanggulanginya dimulai dari diri kita sendiri dari hal yang kecil mulai sekarang!! Caranya diantaranya,
Berhenti atau kurangilah makan dagingØ
Dalam laporannya yang berjudul Livestock’s Long Shadow : Enviromental lssues and Options (dirilis November 2006), PBB mencatat bahwa 18% dari pemanasan global yang terjadi saat ini disumbangkan oleh industri peternakan, yang mana lebih besar daripada efek pemanasan global yang dihasilkan oleh seluruh alat transportasi dunia digabungkan! PBB juga menambahkan bahwa emisi yang dihitung hanya berdasarkan emisi CO2 yang dihasilkan, padahal selain sebagai kontributor CO2 yang hebat, industri peternakan juga merupakan salah satu sumber utama pencemaran tanah dan sumber-sumber air bersih.
Sebuah laporan dari Earth Institute menegaskan bahwa diet berbasis tanaman hanya membutuhkan 25% energi yang dibutuhkan oleh diet berbasis daging. Penelitian yang dilakukan Profesor Gidon Eshel dan Pamela Martin dari Universitas Chicago juga memberikan kesimpulan yang sama: mengganti pola makan daging dengan pola makan vegetarian 50% lebih efektif untuk mencegah pemanasan global dari pada mengganti sebuah mobil SUV dengan mobil hibrida.
Seorang vegetarian dengan standar diet orang Amerika akan menghemat 1,5 ton emisi rumah kaca setiap tahunnya! Seorang vegetarian yang mengendarai SUV ffummer masih lebih bersahabat dengan lingkungan daripada seorang pemakan dagrng yang mengendarai sepeda!
Batasilah emisi karbon dioksida!Ø
Bila memungkinkan, carilah sumber-sumber energi alternatif yang tidak menghasilkan emisi CO2 seperti tenaga matahari, air, angin, nuklir, dan lain-lain. Bila terpaksa harus menggunakan bahan bakar fosil (yang mana akan menghasilkan emisi CO2), gunakanlah dengan bijak dan efisien.
Hal ini termasuk menghemat listrik dan energi, apalagi Indonesia termasuk negara yang banyak menggunakan bahan bakar fosil (minyak, batubara) untuk pembangkit listriknya.
Matikanlah peralatan listrik ketika tidak digunakan, gunakan lampu hemat energi, dan gunakanlah panel surya sebagai energi alternatif.
Tanamlah lebih banyak pohon!Ø
Tanaman hijau menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam jaringannya. Tetapi setelah mati mereka akan melepaskan kembali CO2 ke udara. Lingkungan dengan banyak tanaman akan mengikat CO2 dengan baik, dan harus dipertahankan oleh generasi mendatang. Jika tidak, maka karbon yang sudah tersimpan dalam tanaman akan kembali terlepas ke atmosfer sebagai CO2.
Peneliti dari Louisiana Tech University menemukan bahwa setiap acre pepohonan hijau dapat menangkap karbon yang cukup untuk mengimbangi emisi yang dihasilkan dari mengendarai sebuah mobil selama setahun.
Sebuah studi yang dilakukan oleh layanan perhutanan di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa penanaman 95.000 pohon yang dilakukan di dua kota kecil di Chicago memberikan udara yang lebih bersih dan menghemat biaya yang berhubungan dengan pemanasan dan pendinginan udara sebesar lebih dari US$38 juta dalam 30 tahun ke depan.
Daur ulang (recycle) dan gunakan ulangØ
Kalkulasi yang dilakukan di California menunjukkan bahwa apabila proses daur ulang dapat diterapkan hingga di level negara bagian California, maka energi yang dihemat cukup untuk memberikan suplai energi bagi 1,4 juta rumah, mengurangi 27.047 ton polusi air, menyelamatkan 14 juta pohon, dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga setara dengan 3,8 juta mobil!.
Gunakan alat transportasi alternatif untu mengurangi emisi karbonØ
Penelitian yang dilakukan Universitas Chicago menunjukkan bahwa beralih dari mobil konvensional ke mobil hibrida seperti Toyota Prius dapat menghemat 1ton emisi per tahun.
Mengkonsumsi makanan produk lokal akan mengurangi emisi dalam jumlah yang cukup signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Iowa State University pada tahun 2003 menemukan bahwa makanan non-lokal rata-rata menempuh 1.494 mil sebelum dikonsumsi, bandingkan dengan makanan lokal yang hanya menempuh 56 mil. Bayangkan betapa banyak emisi karbon yang dihemat dengan perbedaan 1.438 mil tersebut.
Gunakan sepeda sebanyak yang Anda bisa sebagai metode transportasi. Selain menghemat banyak energi, bersepeda juga merupakan olah raga yang menyehatkan.
Komentar
Posting Komentar